Hidup itu tumbuh. Tumbuh itu berkembang. Makanya, kalau bisa, marilah kita tumbuh dan berkembang menjadi diri kita sendiri masing-masing yang “beritikad” atau yang “benar-benar baik, lebih baik, maupun terbaik, tetapi tidak sampai terlalu baik, dan juga tidak sampai terlalu tidak baik”. Setuju? Terima kasih!
Walaupun tidak kaget, tapi saya (Mr/Pak/Sdr Joger) masih saja sering terpaksa heran melihat makin banyaknya hal-hal janggal yang terjadi di NKRI kita yang yang indah, subur, luas, kaya, punya Bhinneka Tunggal Ika, punya Soempah Pemoeda, punya Pancasila, punya adat suka bergotong-royong, punya asas kekeluargaan, punya Betara Semar dengan nasihat "Ojo dumeh", punya UUD 1945 yang bahkan sudah empat kali diamandemen. Apa, sih yang kita tidak punya di NKRI kita tercinta ini, kok dari sejak zaman Orla, Orba, Reformasi, maupun sampai sekarang ini keadilan sosial masih hanya sampai di bibir saja?
Bagi orang2 Indonesia yg benar2 merdeka, membantu sesama yg mereka yakini masih benar2 pantas, perlu, dan mau ditolong bukanlah hanya sekadar hak dan kewajiban mereka, tetapi juga merupakan kegiatan positif (baik dan bermanfaat) yg sangat suka mereka lakukan secara benar2 baik, jujur, bebas, sering, adil, beradab, bermoral, beretika, bertanggungjawab, dan/atau secara benar2 merdeka! Setuju? Atau bagaimana?
Hidup bersama di dunia fana yang hampir selalu penuh misteri ini memang sebaiknyalah enak, tetapi tidaklah seenaknya! Pemerintahan sebuah kerajaan memang bisa dan boleh saja menaikan tarif pajak seenaknya, karena pemimpin mereka, kan raja atau ratu, bukan presiden dan juga bukan perdana mentri, tetapi karena apa kerajaan Thailand tidak menaikkan tarif pajaknya seenaknya? Apakah Kerajaan Thailand memang lebih tidak mau seenaknya? Quo Vadis pajak di NKRI? Marilah kita kembali ke jalan yang “beriktikad”!!!
Setelah punya Bhinneka Tunggal Ika sejak abad ke-empatbelas, setelah punya Soempah Pemoeda sejak 1928, dan setelah sejak 1945 merdeka dari penjajahan penjajah asing, masihkah kita mau dan suka memakai istilah “pribumi” maupun “non-pribumi” yg cenderung membuat bangsa kita yg heterogen ini terpecah belah secara tidak baik, tidak jujur, tidak adil, dan tidak beradab? Masih atau sudah sadar?!?
Bagi orang2 Indonesia yg benar2 merdeka, membantu sesama yg mereka yakini masih benar2 pantas, perlu, dan mau ditolong bukanlah hanya sekadar hak dan kewajiban mereka, tetapi juga merupakan kegiatan positif (baik dan bermanfaat) yg sangat suka mereka lakukan secara benar2 baik, jujur, bebas, sering, adil, beradab, bermoral, beretika, bertanggungjawab, dan/atau secara benar2 merdeka! Setuju? Atau bagaimana?
Hidup bersama di dunia fana yang hampir selalu penuh misteri ini memang sebaiknya lah enak, tetapi tidaklah seenaknya! Pemerintahan sebuah kerajaan memang bisa dan boleh saja menaikan tarif pajak seenaknya, karena pemimpin mereka, kan raja atau ratu, bukan presiden dan juga bukan perdana mentri, tetapi karena apa kerajaan Thailand tidak menaikkan tarif pajaknya seenaknya? Apakah Kerajaan Thailand memang lebih tidak mau seenaknya? Quo Vadis pajak di NKRI? Marilah kita kembali ke jalan yang “beriktikad”!!!
Pertanyaan sederhana yang tampaknya sangat amat pantas dan perlu kita jawab secara benar-benar baik, jujur, adil, dan beradab saat ini, adalah “Apakah orang-orang yang sudah sering secara banal dan terbuka melakukan hal-hal buruk seperti KORUPSI, kolusi, nepotisme, koncoisme, mafia-isme, premanisme, vandalisme, terorisme, mentang-mentangisme, maupun mentung-mentungisme masih layak kita anggap atau apalagi hargai sebagai patriot alias pahlawan bagi NKRI kita tercinta I Silahkan renungkan sendiri!
Walaupun tidak kaget, tapi saya (Mr/Pak/Sdr Joger masih saja sering terpaksa heran melihat makin banyaknya hal-hal janggal yang terjadi di NKRI kita yang indah, subur, luas, kaya, punya Bhinneka Tunggal Ika, Punya Soempah Pemoeda, punya Pancasila, punya adat suka bergotong-royong, punya asas kekeluargaan, punya Betara Semar dengan nasihat “Ojo dumeh”, punya UUD 1945 yang bahkan sudah empat kali diamandemen. Apa, sih yang kita tidak punya di NKRI kita tercinta ini, kok dari sejak zaman Orla, Orba, reformasi, maupun sampai sekarang ini keadilan sosial masih hanya sampai di bibir saja?
Kalau saja kita benar-benar mau belajar dan/atau mengambil hikmah dari sejarah masa lalu peradaban manusia, seharusnyalah kita sadar dan paham, bahwa hanya penguasa yang tidak mau dan tidak mampu bekerja secara efisien dan efektif karena maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, mafia-isme, maupun premanisme, lalu terpaksa meningkatkan pemasukan mereka dengan menaikkan berbagai macam pajak yang membuat rasa keadilan maupun semangat kemerdekaan rakyat mengendur. Apakah para penguasa di NKRI kita ini sudah mau mengambil hikmah dari sejarah bangkrutnya VOC karena korupsi?