Kalau bisa, janganlah habiskan seluruh "rasa dan sikap" hormat kita hanya untuk menghormati mereka yang "di atas" saja, karena mereka yang "di bawah" juga butuh rasa dan sikap hormat kita yang wajar.
NKRI kita yang indah, luas, subur, kaya, dan berdasarkan Pancasila ini sebenarnya hanya butuh stakeholder (rakyat, wakil rakyat, penyambung lidah rakyat, maupun pemimpin rakyat) yang benar-benar baik, jujur, beradab, dan/atau benar-benar Pancasilais sejati, dan/atau mau, mampu, sempat, ikhlas, dan mantap mencintainya secara benar-benar Pancasilais!
Kalau bisa, marilah kita secara bertahap (tapi pasti) kurangi kebiasaan buruk suka melakukan kekerasan terhadap siapapun. marilah kita ramai-ramai saling menghormati, menghargai, maupun saling mencintai secara benar-benar baik, jujur, adil, bertanggung jawab. Oke? Setuju?
Sebagai orang beriktikad yang merdeka (bebas dan bertanggung jawab), sudah selayaknyalah kita punya kemauan serta kemampuan untuk mengelola sikap hormat (respek) kita secara wajar terhadap siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Dalam arti, hati-hati dan bijaksanalah dalam mengelola sikap hormat kita yang walaupun bagaimana, kan terbatas juga jumlahnya. Wajar-wajar sajalah!
Jangankan hal-hal negatif atau mudarat, bahkan hal-hal positif atau maslahat pun kalau kita peroleh, manfaatkan, nikmati, serta kelola secara tidak wajar, maka semuanya pun bisa saja berubah menjadi musibah. Makanya wajar-wajar sajalah mencari nafkah.
Hidup sebagai manusia ini sebaiknyalah wajar-wajar saja, dalam arti janganlah sampai bersikap 'dumeh' (mentang-mentang), dan kalau memang masih punya kesadaran dan keikhlasan, apa salahnya kita senantiasa 'sumeh' (ramah), dan 'sumeleh' (pasrah/penuh penyerahan diri kepada Tuhan Yang Mahabijaksana, maupun kepada para peguasa dunia fana secara sewajar-wajarnya. Ojo dumeh versi Joger, Balinesia.
Kalau yang pria disebut dewa, berarti yang wanita pasti dewi. Ketika yang betina cumi-cumi, maka yang jantan disebut cuma-cuma. Ketika yang betina benar-benar kepiting, berarti yang jantan harus hati-hati karena bisa saja kepotong. Kalau yang wanita kita sebut selebriti, maka yang pria kita sebut selebroto. Tapi walaupun sang istri penjahit, sebaiknyalah sang suami tidak menjadi penjahat! (Candaan khas ala Pabrik Kata-Kata Joger)
Memaafkan maupun minta maaf sebenarnya bisa dan boleh sama mulianya asalkan memang sama-sama dilakukan dengan kesadaran, niat baik, pemahaman, maupun keikhlasan yang benar-benar mulia. Janganlah terburu-buru minta maaf kalau kita belum benar-benar menyesal atas kesalahan yang sudah kita lakukan. Dan maafkanlah secara tulus orang yang sudah benar-benar sadar, benar-benar paham, dan benar-benar menyesali kesalahannya. Wajar-wajar sajalah!
Pada dasarnya, tidak ada manusia biasa yang bisa 100% sempurna maupun 100% tidak sempurna. Semua orang biasa pasti punya kekuatan maupun kelemahannya masing-masing yang khas dan unik. Tidak perlu minder, tapi juga janganlah malah bangga atas kelemahan-kelamahan kita. Dengan berbekal iktikad atau niat baik, marilah kita sering-sering lakukan evaluasi maupun introspeksi diri secara baik, jujur, adil, cerdas, bertanggungjawab, dan/atau sportif, sehingga kita pun minimal tahu kelemahan dan kekuatan kita untuk kita kembangkempiskan secara wajar, optimal, dan berkesinambungan.
Kalau bisa, hindarilah memperdebatkan tentang keyakinan maupun selera. Tetaplah syukuri dan manfaatkan otak serta hati kita masing-masing secara baik, bebas, dan bertanggung jawab. Jangan lupa bahwa Tuhan Yang Mahakuasa saja tidak mau memanfaatkan Kemahakuasaan-Nya untuk memaksakan kehendak-Nya kepada kita dalam soal keyakinan dan selera. Merdeka! Terima Kasih!