Apakah orang baik, jujur, dan bertanggungjawab boleh berpikir negatif? Ya, tentu saja boleh, tetapi untuk apa? Makanya, kalau bisa, belajarlah untuk berpikir positif, karena bisa jauh lebih baik dan bermanfaat bagi kita sebagai makhluk sosial yang benar-benar sosial.
Kalau tidak dalam keadaan yang benar-benar genting sekali, biasakanlah untuk berpikir positif, lebih positif, maupun paling positif, tetapi tentu saja jangan sampai terlalu positif! Wajar-wajar sajalah!
Tuhan Yang Mahabaik menciptakan kita bukan untuk hidup susah atau sengsara, melainkan justru untuk bisa dan boleh hidup enak, dalam arti enak makan, enak minum, enak tidur, enak berdoa, enak bergaul, enak berbicara, enak berkarya, enak bekerja, enak mendengar yang enak-enak, enak bertanya, tapi tentu saja tidak boleh seenaknya. Jangan berlebihan! Merdeka!
Kebebasan berbicara adalah salah satu (bukan satu-satunya) kebebasan yang boleh dan bisa kita manfaatkan secara enak di alam demokrasi maupun reformasi ini, dan/tapi justru karena itulah kita tetap tidak boleh sembarangan dan seenaknya bicara, apalagi di ruang publik!
Berpikir negatif adalah ibarat membiarkan racun dan penyakit beroperasi di dalam diri kita sambil berharap agar orang lain yang sakit dan menderita! Waspada itu indah, curiga itu payah! Makanya marilah kita tingkatkan kewaspadaan sembari mengurangi sikap saling mencurigai. Mari bersikap positif!
Kalau keadaan eksternal tidak terkendali, minimal kendalikanlah pikiran kita sendiri agar jangan sampai negatif, karena pikiran negatif bukan hanya bisa membuat diri kita menderita, tapi juga bisa membuat orang lain & rezeki menjauh!
Kalau bisa, janganlah biasakan diri kita untuk membenci semua orang kaya secara membabi buta, karena toh tidak semua orang kaya itu jahat, licik, kikir, sombong, kejam, dan suka meremehkan orang yang tidak kaya. Tapi sebaliknya, janganlah bantu semua orang miskin secara membabi buta, karena, toh tidak semua orang miskin benar-benar pantas, perlu, dan mau menerima bantuan kita secara wajar!
Kalau memang masih belum mau, belum mampu, dan belum sempat mendukung negara kita tercinta ini, minimal janganlah jadi parasit, jadi beban, jadi pengacau, jadi teroris maupun jadi koruptor saja.
Kalau memang masih belum mau, belum mampu, maupun belum sempat untuk saling menghargai, saling menghormati, maupun saling mencintai, minimal janganlah saling meremehkan maupun saling menghina saja terlebih dahulu.
Daripada harus mengorbankan tanah warisan untuk "nyogok", tentu lebih baik jadi petani, satpam, tukang parkir, pramuwisata, pramuniaga, tukang kayu, tukang ngomong (motivator), atau jadi pedagang saja, yang penting benar-benar baik, jujur, ramah, rajin, bertanggung-jawab, berimajinasi, berinisiatif, berani, bersyukur, bermanfaat, tekun dan tahu diri.