Negeri kita yang heterogen dan sama-sama kita cintai ini memang sudah sulit ditertibkan, karena uang dan kekuasaan sudah terlanjur tumbuh dan berkembang menjadi jauh lebih menarik dan juga lebih dicintai "rakyat" daripada keadilan dan kebenaran!
Orang-orang yang tidak atau belum punya kesibukan positif dan konstruktif, biasanya cenderung akan mengisi waktunya dengan berbagai macam pikiran negatif yang destruktif. Makanya, agar waktu-waktu kita tidak sampai harus kita isi dengan pikiran negatif, marilah kita isi penuh waktu-waktu kita dengan pikiran positif, lebih positif, maupun paling positif. Yang penting janganlah sampai terlalu positif dan/atau apalagi sampai terlalu negatif. Selamat Tahun Baru Imlek 12/2/2021.
Kalau untuk urusan "cukup maupun kurang", sebaiknyalah kita tanya diri kita sendiri saja! Janganlah malah tanya ke sana ke mari, kecuali kepada pacar kita, pasangan hidup kita, orang tua kita, mertua kita, guru kita, dosen kita, maupun orang-orang yang memang sudah dan/atau akan tetap banyak ikut ambil bagian (berkontribusi) dalam kehidupan kita yang bisa saja masih panjang dan lebar, he..he. Jangan takut, tapi tetaplah baik & waspada!
Kadang-kadang kita ini terlalu mudah, terlalu cepat, dan/atau bahkan terlalu dalam terpengaruh oleh kegemerlapan maupun kemewahan bangsa asing yang disebarluaskan atau dipamerkan melalui film-film maupun iklan-iklan impor, bahkan banyak dari sesama anak bangsa kita yang tampak jauh lebih Korea daripada orang Korea, lebih Arab daripada orang Arab, lebih Tionghoa daripada orang Tionghoa, lebih India daripada orang India, dan lebih Barat daripada orang Jerman Barat, he..he..he. Quo vadis Indonesia? Mau kemana kita? Sudah tahu?
Kalau memang benar-benar ingin NKRI kita tercinta ini benar-benar tetap utuh dan maju, dengan berbekal "Iktikad" alias "Niat baik yang benar-benar baik, tapi tidak terlalu baik", marilah kita pagari diri kita masing-masing, justru agar kita tidak sampai terlalu terpengaruh oleh "Chinanisasi", "Arabisasi", "Amerikanisasi", "Koreanisasi", "Jepangisasi", "Jermanisasi", maupun berbagai bentuk "pencekokan" secara budaya maupun selera asing. Marilah kita tetap menjadi Indonesia yang benar-benar baik, jujur, adil, beradab, dan merdeka! Salam merdeka dari Pabrik Kata-Kata Joger, Kuta, Bali.
Maaf, ralat! Renungan Joger. Sabtu, Tgl 6/2/2021, seharusnya berbunyi: "Salah satu kesalahpahaman manusia tentang Tuhan Yang Maha Esa, adalah karena kebanyakan dari kita masih saja memahami Tuhan (kita bersama) Yang Maha Esa atau Yang Maha Satu itu sebagai sesosok Tuhan yang bisa kita lihat, pegang, hitung, tambahkan, kurangi, bagikan, kalikan, dan kemudian malah monopoli atau "kuasai" sebagai milik kita atau milik kelompok kita saja. Padahal Tuhan Yang Maha Esa itu sama sekali tidak bisa dan (seharusnya juga) tidak boleh dimonopoli oleh siapapun, termasuk oleh "mayoritas" maupun "minoritas".
Salah satu kesalahpahaman tentang Tuhan Yang Maha Esa, adalah makin banyak saja manusia malah menganggap dan/atau bahkan meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu, kan tidak berbentuk dan sehingga juga tidak bisa dihitung, tidak bisa ditambah, tidak bisa dikurangi, tidak bisa dilipatgandakan, tidak bisa dibagi, dan sehingga juga tidak bisa dimonopoli oleh siapa pun juga, termasuk oleh kelompok mayoritas maupun oleh kelompok minoritas. Oke? Terima kasih!
Menurut Mr/Pak Joger, tampaknya mungkin lebih baik dan lebih berpotensi bisa lebih membahagiakan lahir dan batin kita, kalau kita makan "tipat cantok" yang bersih, sehat, enak, menarik, murah, dan meriah, daripada makan "steak daging imported" yang walaupun bersih, bergizi tinggi, bergengsi tinggi, mewah, enak, menarik, tetapi, kan mahal dan mengandung banyak kolesterol. Maaf ini hanyalah pendapat atau selera pribadi.
Apa gunanya berebut jadi "wakil rakyat", kalau ternyata niat dan sikapnya tidak benar-benar memfasilitasi aspirasi, kebutuhan, maupun kepentingan rakyat? Apa gunanya tetap jadi "rakyat" yang baik, jujur, adil, beradab, tertib, dan patuh, kalau ternyata malah hanya dituntut untuk selalu rajin berdoa, kreatif berkarya, bekerja nyata, bekerja keras, bekerja cerdas, bayar pajak, maupun sering-sering bekerja bakti menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup bersama saja?
Kalau bisa, janganlah masukkan korupsi, kolusi, maupun nepotisme sebagai "budaya", karena kebiasaan melakukan 3 bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu bukanlah "kebiasaan yang baik dan bermanfaat" yang layak kita pahami, terima, percaya, dukung, maupun angkat derajatnya menjadi "kebudayaan". Kalau bisa, sebaiknyalah kita agak lebih berhati-hati dalam memahami, menerima, mempercayai, mendukung, maupun mengangkat derajat suatu istilah, apalagi yang kita ucapkan dan sebarluaskan di ruang publik. Setuju???